Syekh Yusuf

7/14/2010

Nama Syekh Yusuf sudah tidak asing lagi di kalangan para ulama. Sebab ia bukan saja dikenal sebagai dai yang berjuang di tanah air, namun juga berjuang sampai ke ujung benua Afrika tepatnya di Cape Town. Di sanalah ia berdakwah dengan gigih walaupun Belanda terus mengawasi segala aktifitasnya selama di pengasingan.

Ia lahir di Moncongloe, Goa, Sulawesi Selatan, 3 Juli 1626 dari pasangan Abdullah dengan Aminah. Nama Muhammad Yusuf merupakan pemberian Sultan Alauddin, raja Gowa, yang juga kerabat ibunda Syekh Yusuf. Ia tumbuh dalam lingkungan yang penuh dengan nuansa keislaman. Mulanya Yusuf kecil belajar kepada Daeng ri Tasammang. ia belajar berbagai cabang disiplin ilmu agama seperti fikih, tafsir, dan hadits, serta ilmu bahasa (nahwu, sharaf dan balaghah) dipelajarinya dengan tekun. Dalam usia belasan tahun, ia telah menghafal seluruh Al-Quran. Selajutnya belajar fiqih, tauhid, bahasa Arab dan tasawuf dari Sayyid Ba' Alwi bin Abdul Al 'Allamah Al-Thahir, seorang dai Arab yang tinggal di Bontoala.

Pada usia 15 tahun, ia melajutkan belajarnya di Cikoang. Setelah belajar di Cikoang, Syekh Yusuf menikah dengan putri Sultan Gowa. Dalam bukunya Jaringan Ulama Timur Tengah dan Kepulauan Nusantara abad XVII dan XVIII, Azyumardi Azra, seorang pakar sejarah mengungkapkan bahwa Syekh Yusuf sudah memendam keinginannya untuk belajar di Timur Tengah.

Syekh Yusuf

Maka pada usia 19 tahun, Syekh Yusuf pergi ke Mekkah untuk berhaji dan memperdalam ilmu. Pada 22 september 1645 (versi lain: usia 18 tahun 1644) ia meninggalkan Makassar dengan kapal Portugis. Sebelum menuju Mekkah, ia singgah di Banten, dan sempat berkenalan dengan putra mahkota Kesultanan Banten, yang kelak memerintah sebagai Sultan Ageng Tirtayasa (1651-83). Kemudian ia berlayar ke Aceh dan bertemu dengan orang-orang penting dan kaum intelektual Aceh. sempat juga ia berguru pada Syekh Nuruddin ar Raniri dan mendalami tarekat Qodiriyah. Tidak lama di Aceh Syekh Yusuf melanjutkan perjalanan, kali ke Yaman. Ia sempat berguru tarekat Naqsyabandi pada Sayed Syekh Abi Abdullah Muhammad Abdul Baqi bin Syekh al-Kabir Mazjaji al-Yamani Zaidi al-Naqsyabandi dan tarekat Assa’adah Al-Baalawiyah pada Syekh Maulana Sayed Ali Al-Zahli di Zubaid (masih di negeri Yaman). Setelah itu, ia pergi ke Mekkah untuk beribadah haji.

Perjalanan Syekh Yusuf kemudian dilanjutkan ke Madinah dan negeri Syam (Damaskus), ia berguru tarekat Syattariyah pada Syekh Ibrahim Hasan bin Syihabuddin Al-Kurdi Al-Kaurani (di Madinah) dan belajar tarekat Khalwatiyah pada Syekh Abu Al Barakat Ayyub Al-Khalwati Al-Qurasyi (di Damaskus).

Mengenai kiprahnya setelah kembali dari Timur Tengah, banyak ahli berbeda pendapat. Ada Sebagian ahli yang menyakini bahwa Syekh Yusuf tak pernah kembali ke Goa, melainkan menetap di Banten. Di sana ia berdakwah disamping juga tenggelam dalam dunia polotik sampai dibuang oleh Belanda ke Sri Langka. Namun versi lain mengungkapkan bahwa ia kembali ke Makassar sebelum diminta oleh Sultan Ageng Tirtayasa untuk menyebarkan ilmunya di Banten. Ia bukan saja sebagai mufti agung kerajaan Banten namun juga diangkat sebagai panglima perang kesultanan Banten.

Ketika pasukan Belanda memasuki Banten dan berhasil menangkap Sultan Ageng, Syekh Yusuf memegang kendali kesultanan. Ia menentang penjajahan dengan cara gerilya. Ia sempat mendirikan benteng di daerah Cirebon sehingga menyulitkan Belanda menaklukkan wilayah itu. Lewat tipu muslihat, Belanda akhirnya berhasil menangkap Syekh Yusuf dan istrinya. Bersama keluarganya, Syekh Yusuf kemudian dipenjarakan di Jakarta, lalu dibuang ke Sri Langka (12 September 1684).

Di Sri Lanka, Syekh Yusuf tetap aktif menyebarkan agama Islam, sehingga memiliki murid ratusan, yang umumnya berasal dari India Selatan. Salah satu ulama besar India, Syekh Ibrahim ibn Mi'an, termasuk mereka yang berguru pada Syekh Yusuf. Melalui jamaah haji yang singgah ke Sri Lanka, Syekh Yusuf masih dapat berkomunikasi dengan para pengikutnya di Nusantara, sehingga akhirnya oleh Belanda, ia diasingkan ke lokasi lain yang lebih jauh, Afrika Selatan, pada tanggal 7 Juli 1693, Namun pengasingannya ini membawa berkah bagi Afrika Selatan karena ia berhasil menanamkan benih Islam yang subur di negeri itu, hingga ia wafat pada tanggal 23 Mei 1699, para pengikutnya menjadikan hari wafatnya sebagai hari peringatan. Bahkan, Nelson Mandela, mantan presiden Afrika Selatan, menyebutnya sebagai 'Salah Seorang Putra Afrika Terbaik'.

Syekh Yusuf menulis sekitar 20 buku agama, hampir semuanya berbahasa Arab, antara lain: Zubdat al-Asrar fi tahqiq Ba'd Mayarib al-Akhyar, Taj al-Asrar fi Tahqiq Masyrab al-Arifin Min Ahl al-Istibhar, Mathalib as Salikin, Fath Kaifiyyat az-Zikr dan Safinat an-Najah.

Diolah dari berbagai sumber.
Previous
« Prev Post
Add CommentHide

Back Top